Selasa, 24 Agustus 2021

LOMBA MENULIS GURU HONORER

 

 MERDEKA DI MATA GURU HONORER

Aida Anwariyatul Fuadah

Beberapa hari lalu jagad dunia maya khususnya aplikasi TikTok ramai membahas sebuah konten yang dipublikasikan pada hari Rabu, 18/8/2021 oleh akun @hermyyusita. Ia memposting video dengan memperlihatkan sebuah slip gajinya tertanggal Bengkulu, 15 Agustus 2021. Pada postingannya ia juga menambahkan kata-kata dalam videonya, “Nasib guru honorer. Kerjaan serius, gajinya main-main,” dengan menambahkan lima emoticon menangis. Kemudian postingan tersebut juga ditambahkan caption “Nasib guru Honor #tugasmulia#mencerdaskananakBangsa#tolongpikirkanparapetinggiNegeri. Slip gaji tersebut memperlihatkan gaji kotornya Rp. 315.000,00 yang kemudian dikurangi bayar koperasi dan potongan sosial sebesar Rp. 102.000,00. Gaji bersih yang ia terima dalam satu bulan (Agustus 2021) yaitu Rp. 213.000,00. Jumlah tersebut sungguh sangat jauh bila dibandingkan dengan Upah Minimum Provinsi (UMP) Bengkulu sebesar Rp. 2.215.000/bulan. Sontak postingan tersebut menjadi sorotan berbagai pihak. Banyak netizen mengemukan kekecewaanya pada pemerintah atas nasib guru honorer yang begitu mengkhawatirkan secara finansial.

Potret guru honorer di atas hanya satu dari dari ratusan ribu lainnya yang sama menanti kesempatan untuk hidup lebih baik. Pasalnya untuk mendapatkan gelar sarjana pendidikan perlu berkorban waktu dan biaya yang tak sedikit. Setelah lulus dengan berbagai perjuangan melihat kenyataan bahwa gaji yang didapat tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hidup menjadi persoalan baru. Banyaknya lulusan sarjana pendidikan yang tak memilih pekerjaan sebagai guru karena gaji yang jauh dari kata layak dan harus memenuhi kewajiban untuk menafkahi keluarga. Guru honor yang mengambil berbagai pekerjaan sampingan untuk memenuhi kehidupan keluarga tidak asing lagi terdengar. Berbagai pekerjaan mereka geluti dan lakukan untuk tetap bertahan hidup. Dari mulai ojek online, jualan online, jadi kurir, mengajar bimbel dan lainnya tak segan dilakukan untuk memastikan dirinya dan keluarga tetap bisa makan dan memenuhi kehidupan sehari-hari. Belum lagi setelah bertahun-tahun mengabdi karena status guru honorer adalah Guru tidak tetap (GTT) setiap tahunnya harus bersiap bila ada guru PNS mutasi atau ditugaskan ke sekolahnya karena otomatis jam mengajar akan diberikan pada PNS yang digaji oleh pemerintah terlebih dahulu. Apabila ada sisa jam maka itu bagian guru honorer tetapi apabila tidak ada jam mengajar berarti guru honorer harus keluar dari sekolah tersebut.

Guru honorer memang seperti “anak tiri” dalam dunia pendidikan. Keberadaanya dibutuhkan tetapi hak dalam segi finansial sungguh sangat jauh berbeda dengan guru PNS. Guru PNS memiliki gaji tetap, sertifikasi, berbagai tunjangan dan uang makan yang pasti dibayarkan meskipun tidak jarang pembayaran dirapel di bulan berikutnya. Berbeda dengan guru honorer, dibayar perjam sesuai jadwal mengajar tidak ada uang apapun yang menyertai pendapatan setiap bulannya. Padahal kami sama-sama manusia memerlukan makan/uang makan tetapi itu juga tak kami dapatkan sepeserpun. Kami harus memaksakan diri untuk merasa cukup dengan apa yang kami dapatkan setiap bulannya. Ini bukan prihal ikhlas dan tak ikhlas menjalaninya tetapi tentang bagaimana menghargai dan memanusiakan manusia. Bukan pula soal pamrih dan tak pamrih tapi persoalan untuk mengapresiasi kerja seseorang dan kemampuan seseorang yang telah meluangkan waktu dan pemikirannya untuk bekerja dengan baik.  

Pemerintah sebenarnya tak lepas tangan akan nasib guru honorer, seperti yang disampaikan Menteri Pendidikan, Nadiem Makarim, dalam Rakornas Badan Kepegawaian Nasional (BKN) yang disiarkan melalui daring pada Kamis (01/07/21). Ia mengatakan bahwa kesejahteraan guru honorer menjadi salah satu PR yang harus segera ditemukan solusi untuk memperbaiki sistem pendidikan di Indonesia. Pak Menteri menyadari bahwa hal ini merupakan masalah yang sangat mendesak dan mulai melakukan rekruitmen guru PPPK. Namun, hal tersebut masih dipandang belum mampu merangkul semua guru honorer, pasalnya kuota yang sedikit dan PPPK guru kemenag yang dibatasi golongan K2 menyebabkan masih banyak guru honorer yang harus bertahan lebih lama untuk mendapatkan kesempatan mengikuti test PPPK.

Tidak hanya dari segi finansial, guru honorer juga terhambat berkembang karena belum diberikan ruang untuk mengembangkan dirinya. Untuk mendapatkan NUPTK saja perlu waktu yang tak sebentar, berbagai birokrasi harus dilewati hanya untuk mendapatkan hak sebagai guru (tidak semua sekolah). Selain itu, untuk mengikuti beasiswa S2 guru 2021 kemendikbud salah satu syarat khususnya yaitu melampirkan SK PNS. Beasiswa S2 guru Madrasah memberikan peluang pada guru non-pns tetapi jurusan telah ditetapkan sebagian besar guru agama dan dua  mata pelajaran umum seperti Matematika dan Bahasa Inggris saja. Kegiatan PPG juga belum masif dilakukan sehingga banyak guru honorer yang kesulitan untuk mendapatkan sertifikat pendidik, padahal sertifikat pendidik dibutuhkan untuk mengikuti berbagai kegiatan yang diselanggarakan oleh pusat dan sebagai syarat menerima sertifikasi yang nominalnya lebih manusiawi yang bisa didapatkan guru honorer. Pilihan lain mengikuti PPG mandiri dengan biaya yang jelas tidak sanggup dibayar dari gaji sebagai guru honorer.

Guru honorer merupakan salah satu aset dalam dunia pendidikan, memberikan kesempatan berkembang menjadi cara tepat yang harus dilakukan. Apabila diberikan hak yang layak dan diberikan berbagai kesempatan, mereka akan mampu menjadi pribadi baru, seorang pembelajar, semakin matang dan bertanggung jawab atas tugas-tugasnya. Dengan hak finansial yang layak juga guru honorer mampu mengikuti berbagai seminar nasional dan internasional, mempelajari berbagai keterampilan baru dan membeli berbagai buku untuk menambah wawasan dan mengembangkan cara belajarnya di kelas. Guru akan fokus dalam pengembangan diri, mengikuti perubahan zaman dan selalu terbarukan dalam gagasan dan performa mengajar. Hal ini bertujuan untuk mempersiapkan siswa-siswi mampu bersaing di masa depan sesuai tujuan pendidikan Indonesia.

Pada akhirnya pendidikan sebagai wadah perkembangan siswa-siswi menemukan diri dan memilih hidupnya masing-masing. Guru yang terus mengembangkan diri akan mampu membimbing mereka sampai di tempat yang seharusnya mereka berada. Hal yang harus dibenahi bersama yaitu sistem pendidikan dan kualitas guru. Karena tantangan zaman saat ini bukan siapa yang paling pintar secara kognitif saja tetapi siapa yang memiliki keterampilan berdasarkan minatnya dan dapat menghasilkan untuk bekal hidup mandiri. Mereka yang bekerja pada hal yang disenangi akan bekerja dengan totalitas dan memiliki tekad untuk terus berkembang. Inilah jawaban untuk bonus demografi Indonesia yang sedang dan akan berjalan beberapa tahun ke depan yaitu diisi oleh pemuda yang produktif yang berkontribusi pada pertumbuhan negara. 

Sebelum bulan kemerdekaan, Agustus, ini berakhir, rasanya masih relevan untuk membicarakan tentang arti kemerdekaan. Bagi guru honorer kemerdekaan yaitu diberikan hak yang layak dan mampu mengembangkan diri. Kami ingin keluar dari tekanan-tekanan yang melemahkan dan menyempitkan kami dan tidak membuat kami berkembang. Karena kami guru honorer yang sering diplesetkan menjadi guru “horor-er” betapa tidak kami terus dibayangi dengan berbagai ketakutan kehilangan jiwa sebagai pengajar karena tidak memiliki fokus mengajar dan mengembangkan diri. Waktu kami habis untuk mencari uang tambahan sebagai cara bertahan hidup. 

 

ACADEMIC WELL BEING 

Siang tadi, saya mengikuti sebuah obrolan menyenangkan yang dipandu oleh Ibu Yessy Hermawati dan Pak Hamyat. Mereka berdua merupakan dosen muda Uninus, pendiri #Ngomik, singkatan dari ngobrol akademik, ngomik tempat permasalahan dibahas dan dicari solusi terbaik bersama-sama. Acara ini diperuntukkan baik untuk siswa, mahasiswa, guru, dosen atau siapapun yang berkenan dapat bergabung dengan kegiatan tersebut. Mereka berdua bersama-sama merangkul kami, dengan begitu hangat dan terbuka. Tidak ada canggung dalam obrolan mereka. Dua orang yang berbicara dengan mata jujur, penuh pengalamanan dan menyentuh hati kami, para pelajar yang sedang ‘berjuang’.

.
Ibu Yessy berbicara tentang pengalamannya selama menjadi akademisi. Ia berkali-kali mengatakan bahwa hidup ini ga baik-baik aja. Karena solusi dari setiap permasalahan yaitu menyadari permasalahan dan menerimanya terlebih dahulu masalah tersebut. Hal tersebut menjadi awal menyelesaikan masalahan bahkan menyembuhkan diri. Tertampar sekali rasanya, saya kadang menyangkal ada masalah hanya karena merasa takut, takut punya masalah, takut bermasalah. Saya sering pura-pura mengatakan semuanya baik-baik saja, menghindari masalah, ga pernah mau tahu apa masalah diri. Ibu bercerita dengan konteks akademik, tetapi saya memaknainya lebih dari hanya dalam dunia akademik.
Bu Yessy menyimpulkan sebuah buku yang dibacanya terkait tahapan untuk menjadi academic well being :
1. Sadar akan masalah,
2. Melihat kemungkinan jebakan dalam dunia akademik,
3. Pahami kekuatan dan keterbatasan dari self healthy, dan
4. bikin safety plan (cari teman, keluarga, relationship, peliharaan, kolega, minta bantuan profesional).
.
Ibu Yessy juga menjelaskan kesulitan orang-orang yang memiliki “masalah” kesehatan mental. Ia mendeskripsikan ketakutan-ketakutan yang dimiliki orang-orang depresi untuk mau bercerita pada orang lain. Hal ini didasari masih ada justifikasi dalam masyarakat bahwa memiliki masalah mental berarti kurang iman, penyangkalan emosi dari orang lain dengan kata-kata “kamu harusnya ga gitu, dll”. Respon seperti itu bukan menyembuhkan, bukan memberikan rasa aman tetapi malah membuat para penderita menjadi lebih tertekan, lebih menyalah diri.
.
Pak Hamyat juga menceritakan pengalamannya selama berkuliah, ia mengalami berbagai permasalahan dalam proses akademisnya. Proses yang panjang, penuh lika-liku, harus merenung dalam perjalananya menulis tugas akhir. Namun, selalu ada orang-orang yang menghakimi dengan membandingkan diri kita (yang sedang berproses) dengan orang lain, menanyakan kapan lulus dengan niat tidak benar-benar membantu. Hal kecil tetapi kadang menambah penghakiman diri. Bukan pertanyaan yang menyudutkan yang dibutuhkan tetapi sebuah pertolongan, pertolongan, pertolongan yang bisa meringankan setidaknya dengan tidak menanyakannya. Saya memahami perasaan itu.
.
Semua orang punya medan pertempurannya masing-masing, sedang berjuang dengan kekuatan dan dirinya sendiri. Cerita siang tadi benar-benar relevan dengan kehidupan saya atau mungkin orang lain yang sedang ada di jalan ini (akademik). Malam ini saya baru selesai bimbingan tesis, dua pembimbing menyempatkan untuk membimbing. Banyak sekali yang saya pelajari malam ini, hari ini. Kalimat yang paling saya ingat dari pembimbing yaitu, “Belajar itu harus mengendap dulu, ga bisa buru-buru, bukan hanya sekadar tahu teori tetapi melihatnya dengan diri yang matang dan kebijaksanaan.” Hari ini, hari yang panjang, saya belajar banyak hal.

 TENTANG MENJADI MERDEKA

Sebelum bulan ini berakhir rasanya masih relevan jika membahas tentang kemerdekaan. Lantas bagaimana memaknai arti kemerdekaan itu? Seseorang sudah menggunakan twibon dengan kata-kata selamat merdeka. Setiap keluarga diwajibkan mengibarkan bendera merah putih di depan rumahnya. Sebagian orang mengikuti lomba memperingati kemerdekaan. Ada juga yang sengaja menggunakan baju merah putih. Sebagian lagi bersyukur dalam hati atas perjuangan para pahlawan. Banyak hal yang dilakukan untuk memperingati hari kemerdekaan. Semua hal itu sah-sah saja selagi seseorang itu merasa senang dengan caranya mengekspresikan kemerdekaan versinya masing-masing tanpa merugikan siapapunn.

Saya ingat sebuah diskusi rutin yang dilakukan #Ngomik yang digagas oleh dosen muda Uninus yaitu Bu Yessy dan Pak Hamyat, pada tanggal 14 Agustus lalu mereka membahas tentang arti kemerdekaan itu sendiri. Mereka menghadirkan sudut pandang pribadi atas makna kemerdekaan yang ditinjau dari berbagai sisi. Simpulan diskusi itu yaitu bahwa kemerdekaan bila dimaknai dengan kebebasan itu mitos, tidak pernah ada. Setiap kebebasan seseorang selalu berbenturan dengan kebebasan orang lain. Tidak ada yang benar-benar bebas dan selalu ada kata penginkaran (tapi, tetapi, namun) diakhirnya. Hasil diskusi itu juga menekankan pentingnya refleksi diri untuk mampu mendefinisikan sendiri kemerdekaan diri sendiri. Setelah seseorang memahami diri sendiri akan ada standar yang ia benar-benar inginkan dalam kehidupan ini selanjutnya ia harus berani ambil resiko atas apapun keputusan dalam hidup. Langkah pertama itu akan dirasakan begitu tak nyaman, karena kita keluar dari standar normatif masyarakat dan dianggap liyan. Ini adalah langkah awal dalam memaknai kemerdekaan, definisi kemerdekaan yang tak didikte oleh siapapun tetapi diputuskan oleh diri sendiri.

Setelah mengikuti #ngomik tersebut, saya mencoba menuliskan kemerdekaan versi saya sendiri, beberapa menit pulpen saya diam, tak ada kata yang saya tulis satupun. Saya bingung dengan mendefinisikan kemerdekaan sendiri, untuk tahap awal saja saya tak memiliki kesadaran itu. Selama saya hidup, saya pikir saya sudah merdeka tetapi ternyata saya terjajah oleh konsep kemerdekaan versi umum yang tak pernah saya pahami esensi makna kata itu secara pribadi. Beberapa menit saya berpikir, hal apa yang membuat saya bahagia, merasa merdeka dan masuk akal dapat diwujudkan dan dijadikan standar kemerdekaan saya pribadi.

Saya menulis empat poin utama definisi kemerdekaan versi saya, pertama bebas mengemukakan argumen pribadi dan menerima dengan terbuka setiap kritikan dan masukan orang lain. Kedua, mampu bekerja sama dalam tim dan berkolaborasi. Ketiga, bebas dari perasaan people pleasure, saya harus punya boudaries kuat atas hidup dan menempatkan diri sebagai fokus dalam perkembangan diri. Terakhir, saya harus memiliki kemampuan bernegosiasi yang baik, karena kebebasan utuh tidak benar-benar ada. Keempat hal ini setidaknya yang saya harapkan di tahun ini. Tahun depan standar kemerdekaan ini bisa berubah atau bertambah, karena dunia berubah, diri berubah semua berubah dan cara untuk bertahan hidup adalah mengikuti perubahan itu.a



0 Komentar

Senin, 15 Maret 2021

Bertahan Hidup

Seorang pria bangun dari tidur kemudian menyadari bahwa ia berada di sebuah penjara dengan tingkat penjara yang tak diketahui. Setiap hari hanya ada satu kali makanan yang lewat ke penjara. Makanan yang sedikit tidak cukup untuk semua penghuni penjara. Semua orang berebut, kehilangan kemanusian bahkan saling membunuh untuk bertahan hidup. (The Platform, 2019)

Seorang pria terbangun di rumah sakit dengan keadaan masih lemah. Ia tersadar telah terjadi sesuatu, rumah sakit yang ia tinggali tak ada manusia satu pun. Hanya ada barang-barang yang berserakan. Setiap lorong terdapat mayat zombie. Kemudian ia pulang ke rumahnya. Keadaan di luar sungguh sangat mengerikan. Zombie berjalan mencari mangsa di sepanjang jalan. Ia tak menemukan anak dan istrinya di rmh. Ia hampir mati untung ada seseorang menolongnya. Ia sadar bahwa setiap saat ia akan mati tapi ia harus tetap bertahan hidup. ( The Walking Dead, 2010-)

Dua film tersebut termasuk film yang membuat bulu kuduk merinding. Bagaimana tidak, darah, membunuh, memakan mayat dan bunuh diri menjadi peristiwa yang selalu hadir. Setiap episode dari The Walking Dead membuat saya merinding tapi penasaran apa yang akan terjadi selanjutnya. Di dunia ini banyak hal yang menyeramkan, menakutkan dan mengancam. Hal yang saya pelajari dari tayangan itu adalah tentang kemampuan bertahan hidup. Semua orang akan mati, tapi bila keadaan mengancam, perasaan takut mati dan perilaku bunuh diri menjadi pilihan bagi sebagian orang. Namun, pilihan tersebut bukan bagi mereka yang punya energi bertahan hidup. Kedua tokoh sentral dalam film ini menyadari kematian bisa saja hadir kapan pun. Mereka berusaha melakukan sesuatu yang terbaik sebelum mati. Mereka selalu waspada, berjuang, menolong, dan bernegosiasi dengan diri, orang lain dan keadaan. Bila tak ada solusi dalam permasalah ia membuat solusinya sendiri meskipun kadang solusi tersebut tak membuat semua pihak senang atau menyiksa diri sendiri. Tapi keputusan harus tetap diambil dan jalan harus ditentukan. Orang yang bertahan hidup adalah mereka yang menentukan pilihan akan hidup meski harus dibayar dengan hidup, keringat, luka, darah bahkan kematian.

Masih nonton film The Walking Dead, hehe. Kali ini yang saya soroti bagaimana cara untuk bertahan hidup. Dalam film tersebut tersebut cara mereka bertahan hidup yaitu membuat sebuah kelompok. Kelompok tersebut tidak besar, hanya terdiri dari beberapa orang yang punya tujuan yang sama atau terkadang luka yang sama membuat kelompok lebih kuat.
1. Mematuhi satu komando
2. Tidak mementingkan diri sendiri tapi kelompok
3. Semua orang mampu mengambil keputusan dalam situasi mendesak dan bertanggung jawab atas pilihannya.
4. Bisa dipercaya dan punya kemampuan
5. Meninggalkan kelompok jika merasa sudah menjadi racun, beban dengan pertimbangan matang demi keselamatan kelompok.
6. Keyakinan yang sama bahwa mati saat berjuang dan melawan lebih baik.

Saya Putuskan Untuk Bahagia

Kenapa ya ?

Banyak orang yang melihat orang lain dan mengukur kebahagian dengan standar kebahagian normatif yang material. Padahal kebahagian tidak tunggal. Kebahagian bisa menjelma menjadi banyak hal. Bisa makan siang dengan telur ceplok ditambah kecap kesukaan subhanallah getaran bahagia itu timbul. Bisa bangun pagi menghirup udara segar, pikiran tenang itu kebahagian juga bagi saya. Bisa ketawa dengan teman-teman meski makan gorengan dicocol saos juga sangat bahagia. Kenapa kebahagian harus direduksi menjadi punya mobil, uang banyak, rumah mewah, punya foto liburan keren-keren, dll. Bukannya kebahagian dengan standar seperti itu sangat memberatkan dan melelahkan sekali. Lagi pula, semua orang punya jalannya masing-masing. Memukul rata standar kebahagian orang hanya akan membuat diri tak pernah puas. Ingin lebih dan lebih. Saya memilih membuat kebahagian saya sendiri, tak akan membiarkan omongan orang lain membatasi saya untuk bahagia. Saya bertanggung jawab atas diri saya sendiri, dan saya akan memilih tetap berbahagia dengan apa yang saya miliki, belum saya miliki dan tidak saya miliki.

Cara Berbahagia: Membangun Boundaries

 Kita memang dibentuk untuk menjadi manusia ga enakan. Mau nolak sesuatu takut menyinggung. Kita lebih sering menghargai orang lain dan melupakan ada diri yang harus dijaga. Maksud hati biar dipandang “baik” oleh orang lain tapi ternyata membiarkan diri kehilangan batas (boundaries), kehilangan diri. Boundaries (batas) semestinya dibentuk untuk membentuk sebuah identitas diri yang menjadi hal penting dari well-being dan kesehatan mental diri. Menurut Parkview Student Assistance Program (IPFW), boundary adalah batas atau ruang antara diri kita dengan orang lain. Hal ini bertujuan untuk melindungi dan menjaga diri kita baik-baik. Menurut Pulih (2020) Personal boundaries mungkin sulit dilakukan karena beberapa hal, diantaranya: 1) Kita selalu mengutamakan kebutuhan dan perasaan orang lain, 2) Kita tidak mengenal diri kita sendiri, 3) Kita merasa tidak memiliki hak, 4) Kita percaya kalau menetapkan batasan akan merusak hubungan, 5) Kita tidak pernah belajar untuk memiliki batasan yang sehat.

Hari ini saya diajari untuk membuat batasan (bounderies) untuk menjadi lebih tegas memutuskan sesuatu supaya mampu meraih bahagia dan mental yang sehat. Hal ini tidak mudah, saya harus menjadi “tega” atas setiap permintaan orang lain. Saya kembali belajar berkata kata “tidak” untuk sesuatu yang sebenernya hak saya untuk menolak. Memiliki bonderies (batas), bukan berarti menjadi tidak peduli tetapi sebaliknya saat kita memiliki batas diri pada orang lain. Kita juga diharuskan menghormati setiap keputusan orang lain mengenai batasan mereka juga. Hingga terciptanya suatu hubungan yang sehat. Menjadi seseorang yang baper tidaklah memberikan kesempatan bertumbuh. Hanya terperangkap pada lubang tak berujung. Menghadirkan logika untuk bisa lebih objektif atas permasalahan menjadi sangat penting.

Yessy Hermawati, Imas Siti Sarah dan 34 lainnya

Tentang Bertumbuh Menjadi...

Sejak beberapa bulan yang lalu adik senang membeli tumbuhan dan berbagai pupuk. Katanya, berkebun menjadi salah satu caranya untuk tetap "waras" selama pandemi ini. Ia lebih suka menanam berbagai jenis bunga dan sayuran. Ajaibnya ia punya tangan dingin, setiap benih atau bibit yang ia tanam selalu tumbuh dengan baik.


Seminggu yang lalu, bunga mawar merah mekar di kebunnya. Ia amat senang. Ia lebih percaya diri dan terus memotret bunga yang sedari dulu ia rawat. Ia bangga pada dirinya sendiri. Pengalaman akan perasaan menumbuhkan membuatnya terus ingin membeli tumbuhan baru di kebunnya. Sampai-sampai saat dia ulang tahun ia hanya minta uangnya saja, mau dibelikan bunga telang dan bunga-bunga lainnya katanya.

Tiga hari yang lalu, pohon Stoberi miliknya berbuah. Ia tersenyum sepanjang hari. Ia terus menyentuh buah merah yang bergelantung pendek menyentuh daunnya. Ia petik dan dan memakannya dengan mata yang berbinar.

Tadi pagi, ia mengecek kangkung hasil tanamnya. Ia termenung sejenak. Saya mendekatinya. Ia berbicara, "Kangkungya tidak tumbuh seragam. Masih ada yang pendek meskipun ditabur benih di hari yang sama." Saya terdiam. "Sama seperti manusia, kita semua tumbuh dengan jalan masing-masing. Ada yang matang diumur 30 tahun, ada juga yang matang di umur 25 tahun." "Jadi, mana yang lebih baik?" tanya saya. Ia tersenyum kecut, "keduanya baik dan keduanya normal. Itu yang disebut alami, membiarkan alam bekerja dengan caranya." Jawabnya. Seketika saya mengerti, picik dan dangkal sekali cara berpikir saya selama ini hanya terkotak antara baik dan buruk.

Hari ini saya akan belajar untuk mengikuti apa yang ia lakukan. Membeli bibit bunga, menjaganya dan membiarkan tumbuh. Saya juga berharap ada yang tumbuh dalam hati saya, sebuah keyakinan bahwa saya harus bertumbuh dan selalu bertumbuh menjadi versi diri terbaik saya sendiri.

Toxic Positivity : Menjadi Toxic Tanpa Disadari

Beberapa hari lalu saya berkumpul dengan beberapa teman. Seorang teman melakukan kesalahan, dua teman marah tentunya karena peduli padanya. Mereka berdua bersikap tegas pada setiap kesalahan yang dilakukan oleh setiap kelompok. Saya dimintai pendapat juga atas kesalahannya, tapi saya hanya menyampaikan beberapa frasa yang mengaburkan sikap atas kesalahanya. Saya tak memiliki sikap tegas seperti kedua teman. Kemudian saya berkata, “Pastinya tidak mudah mengubah sesuatu yang sudah berpuluh-puluh tahun dan kemudian harus diubah.” Kemudian, seorang teman mengatakan bahwa itu toxic positivity. Ya, istilah tersebut sering saya dengar, tapi saya luput memahaminya dengan baik istilah tersebut.


Menurut Indraswari (Yayasan Pulih Indonesia) “ketika term ‘positivity’ menjadi hal yang merugikan atau menjadi racun dalam kehidupan seseorang atau organisasi, maka itulah yang disebut sebagai toxic positivity.” Kemudian menurut Jiemi Ardian (psikiater) toxic positivity itu overgeneralisasi inefektif keadaan bahagian dan optimis dalam semua situasi kehidupan (tanpa peduli apa itu). Tujuannya menyangkal/meniadakan penderitaan dan emosi dari lawan bicara, dan dengan segera berharap dia menjadi positif. Indaswari juga menjelaskan, “Positivity yang sesuai adalah ketika kita benar-benar memahami persoalan yang terjadi dan sekaligus dapat memberikan alternatif yang mencerahkan.”

Contoh toxic positivity juga sering kita temukan dalam kehidupan sehari-hari. Kata-kata “ayo semangat, ayo tetap bersyukur dan semangat terus bisa menjadi berdampak negatif saat disampaikan ke seseorang. Saya ingat, waktu mama sakit semua orang berkata, “sabar ya.” Saya sampai dititik marah saat mendengar kata tersebut. Saya marah pada mereka yang berkata tersebut hanya untuk sekadar basa-basi semata ( beberapa orang mengucapkan dengan tulus dan rasanya terasa). Menurut Indaswari, “Kata-kata semangat positif akan berdampak baik dalam situasi normal atau seseorang dalam kondisi maksimal. Namun dapat menjadi toxic ketika seseorang merasa buntu dan tidak menemukan jalan keluar, yang dapat menyebabkan stress hingga depresi berkepanjangan sehingga diperlukan sensitivitas slogan atau kata-kata terhadap berbagai kemungkinan situasi individu. Menurutnya, diperlukan positivity yang konstruktif dan bukan destruktif. Positivity konstruktif maksudnya bukan hanya sekadar memberikan kata-kata positif, namun juga memberikan berbagai alternatif solusi bagi individu yang mengalami persoalan. Jiemi Adrian juga menambahkan bahwa kita perlu model penyampaian yang lebih kreatif dalam memberikan semangat dan harapan.

Saat berhadapan dengan lawan bicara ada dua hal yang harus dipahami yaitu validasi dan invalidasi. Validasi berarti kita menerima emosi (tidak menyangkal) perasaan lawan bicara dan berusaha memahami pikirannya. Invalidasi itu kita menyangkal emosi lawa bicara tanpa berusaha memahami pikirannya. Toxic Positivity merupakan invalidasi seakan berbicara “ga boleh sedih, takut, cemas dan sejenisnya). Oleh karena itu, meskipun niatnya positif tapi apabila invalidasi, ya bisa keliru (Jiemi Adrian). Hal ini terjadi karena ada ada pernyataan dalam masyarakat bahwa kita tak boleh sedih, ga boleh terlihat lemah, dll. Padahal perasaan itu wajar hadir dan memang harus diterima terlebih dahulu baru setelah itu ditemukan solusinya. Menurut Jiemi “Budaya yang diteruskan tidak selalu benar, kalau keliru boleh saja kita perbaiki. Termasuk dalam budaya mengekspresikan emosi, ketimbang bottle up dan meledak suatu hari maka lebih baik kita belajar menyampikan dengan cara-cara sehat.”

Kembali ke cerita di paragraf pertama, saya menyadari kesalahan saya. Kerap kali kata-kata itu terlontar begitu saja tanpa dipikirkan dampak setelahnya. Seharusnya saya tegas seperti kedua teman. Punya cara berpikir yang logis dan memutuskan sikap saya. Saya melakukan kesalahan. Saya senang memiliki kelompok teman yang tak segan mengkritik dan menegur bila kami melakukan kesalahan. Sekarang malah saya tak terlalu nyaman dalam sebuah kelompok yang hanya saling menjaga perasaan, memendam banyak hal terlebih membiarkan kesalahan yang dilakukan , berpura-pura tak melihat atau bahkan membenarkan sebuah kesalahan. Semua orang yang terlibat dalam relasi tersebut pastinya lelah karena tak menjadi dirinya sendiri.

Dari Murakami : Tentang Hidup

Manusia memiliki nilai di dalam diri mereka dan cara hidup masing-masing, begitu juga aku. Perbedaan itu menimbulkan ketidaksetujuan, dan kombinasi berbagai ketidaksetujuan itu bahkan dapat menimbulkan kesalahpahaman yan lebih luas. Hasilnya, terkadang kita harus menerima kritik yang tak beralasan. Tentu saja tidak menyenangkan jika disalahpahami atau dikritik orang lain. Hal ini merupakan pengalaman yang menyakitkan dan kadang membuat hati kita sangat terluka.


Akan tetapi, seiring dengan bertambahnya usia, sedikit demi sedikit aku memahami bahwa kepedihan ataupun sakit hati merupakan hal yang diperlukan dalam hidup. Fakta bahwa manusia dapat menciptakan diri mereka sendiri sebagai individu yang mandiri karena setiap orang berbeda satu sama lain, jika dipikirkan, hal itu sangat tepat… Perkara sakit hati adalah harga yang harus dibayar seseorang untuk dapat menjadi mandiri di dunia ini.

(Haruki Murakami)

PEDULI : Pedang Bermata Dua

Seorang teman menghubungi melalui sebuah sosial media kemudian bercerita tentang kegelisahannya beberapa Minggu ini. "Mereka melakukan dan mengatakan ini semua karena peduli katanya. Alih-alih saya merasa senang dipedulikan ko semakin membuat saya tak nyaman dengan apa yang mereka katakan. Saya semakin merasa dihakimi, pendapat dan suara saya tidak diberikan ruang. Mereka lupa bahwa ini hidup saya. Kenapa saya tidak boleh memilih apa yang saya inginkan dan perjuangkan dalam hidup ini. Mereka hanya menggunakan standar normatif yang lebih seperti mitos, kebenaran yang belum tentu. Saya sesak dengan keadaan seperti ini." Kata teman mengakhiri tulisannya. Malam sudah semakin larut, tapi kami terus berbagi kisah, saling bertukar cara pandang, dan saling menguatkan. Hidup memang tak pernah mudah, kita berjuang sekuat tenaga untuk merdeka, namun orang lain atau mungkin orang terdekat tanpa permisi mengambil kemerdekaan yang selama ini diperjuangkan. Kamipun terhanyut dan pada akhirnya mengakhiri percakapan malam itu.


Cerita teman masih tertinggal dalam pikiran menjelang malam semakin larut. Kata "Peduli" merupakan kata positif. Tetapi bisa saja menjadi toxic positivity saat orang yang mengaku peduli berkata tanpa memahami konteks seseorang tersebut. Manusia itu sangat rumit, mengatakan sesuatu tanpa melihat apa yang terjadi padanya, apa yang dirasakan padanya adalah sebuah kecerobohan. Saya teringat pernyataan Indaswari terkait batasan seuatu itu positif dan toxic positivity yaitu "Positivity yang sesuai adalah ketika kita benar-benar memahami persoalan yang terjadi dan sekaligus dapat memberikan alternatif yang mencerahkan.” Bukan hanya sekadar memberikan solusi/nasihat tanpa mengetahui siapa dan bagaimana perasaan serta konteks permasalahan. Berbicara tanpa berpikir apa dampaknya sungguh sangat menyebalkan. Hidup akan lebih 'ramah' jika semua orang berpikir dua sampai tiga langkah ke depan sebelum berbicara dan bertindak.