Senin, 15 Maret 2021

Toxic Positivity : Menjadi Toxic Tanpa Disadari

Beberapa hari lalu saya berkumpul dengan beberapa teman. Seorang teman melakukan kesalahan, dua teman marah tentunya karena peduli padanya. Mereka berdua bersikap tegas pada setiap kesalahan yang dilakukan oleh setiap kelompok. Saya dimintai pendapat juga atas kesalahannya, tapi saya hanya menyampaikan beberapa frasa yang mengaburkan sikap atas kesalahanya. Saya tak memiliki sikap tegas seperti kedua teman. Kemudian saya berkata, “Pastinya tidak mudah mengubah sesuatu yang sudah berpuluh-puluh tahun dan kemudian harus diubah.” Kemudian, seorang teman mengatakan bahwa itu toxic positivity. Ya, istilah tersebut sering saya dengar, tapi saya luput memahaminya dengan baik istilah tersebut.


Menurut Indraswari (Yayasan Pulih Indonesia) “ketika term ‘positivity’ menjadi hal yang merugikan atau menjadi racun dalam kehidupan seseorang atau organisasi, maka itulah yang disebut sebagai toxic positivity.” Kemudian menurut Jiemi Ardian (psikiater) toxic positivity itu overgeneralisasi inefektif keadaan bahagian dan optimis dalam semua situasi kehidupan (tanpa peduli apa itu). Tujuannya menyangkal/meniadakan penderitaan dan emosi dari lawan bicara, dan dengan segera berharap dia menjadi positif. Indaswari juga menjelaskan, “Positivity yang sesuai adalah ketika kita benar-benar memahami persoalan yang terjadi dan sekaligus dapat memberikan alternatif yang mencerahkan.”

Contoh toxic positivity juga sering kita temukan dalam kehidupan sehari-hari. Kata-kata “ayo semangat, ayo tetap bersyukur dan semangat terus bisa menjadi berdampak negatif saat disampaikan ke seseorang. Saya ingat, waktu mama sakit semua orang berkata, “sabar ya.” Saya sampai dititik marah saat mendengar kata tersebut. Saya marah pada mereka yang berkata tersebut hanya untuk sekadar basa-basi semata ( beberapa orang mengucapkan dengan tulus dan rasanya terasa). Menurut Indaswari, “Kata-kata semangat positif akan berdampak baik dalam situasi normal atau seseorang dalam kondisi maksimal. Namun dapat menjadi toxic ketika seseorang merasa buntu dan tidak menemukan jalan keluar, yang dapat menyebabkan stress hingga depresi berkepanjangan sehingga diperlukan sensitivitas slogan atau kata-kata terhadap berbagai kemungkinan situasi individu. Menurutnya, diperlukan positivity yang konstruktif dan bukan destruktif. Positivity konstruktif maksudnya bukan hanya sekadar memberikan kata-kata positif, namun juga memberikan berbagai alternatif solusi bagi individu yang mengalami persoalan. Jiemi Adrian juga menambahkan bahwa kita perlu model penyampaian yang lebih kreatif dalam memberikan semangat dan harapan.

Saat berhadapan dengan lawan bicara ada dua hal yang harus dipahami yaitu validasi dan invalidasi. Validasi berarti kita menerima emosi (tidak menyangkal) perasaan lawan bicara dan berusaha memahami pikirannya. Invalidasi itu kita menyangkal emosi lawa bicara tanpa berusaha memahami pikirannya. Toxic Positivity merupakan invalidasi seakan berbicara “ga boleh sedih, takut, cemas dan sejenisnya). Oleh karena itu, meskipun niatnya positif tapi apabila invalidasi, ya bisa keliru (Jiemi Adrian). Hal ini terjadi karena ada ada pernyataan dalam masyarakat bahwa kita tak boleh sedih, ga boleh terlihat lemah, dll. Padahal perasaan itu wajar hadir dan memang harus diterima terlebih dahulu baru setelah itu ditemukan solusinya. Menurut Jiemi “Budaya yang diteruskan tidak selalu benar, kalau keliru boleh saja kita perbaiki. Termasuk dalam budaya mengekspresikan emosi, ketimbang bottle up dan meledak suatu hari maka lebih baik kita belajar menyampikan dengan cara-cara sehat.”

Kembali ke cerita di paragraf pertama, saya menyadari kesalahan saya. Kerap kali kata-kata itu terlontar begitu saja tanpa dipikirkan dampak setelahnya. Seharusnya saya tegas seperti kedua teman. Punya cara berpikir yang logis dan memutuskan sikap saya. Saya melakukan kesalahan. Saya senang memiliki kelompok teman yang tak segan mengkritik dan menegur bila kami melakukan kesalahan. Sekarang malah saya tak terlalu nyaman dalam sebuah kelompok yang hanya saling menjaga perasaan, memendam banyak hal terlebih membiarkan kesalahan yang dilakukan , berpura-pura tak melihat atau bahkan membenarkan sebuah kesalahan. Semua orang yang terlibat dalam relasi tersebut pastinya lelah karena tak menjadi dirinya sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar