ACADEMIC WELL BEING
Siang tadi, saya mengikuti sebuah obrolan menyenangkan yang dipandu oleh Ibu Yessy Hermawati dan Pak Hamyat. Mereka berdua merupakan dosen muda Uninus, pendiri #Ngomik, singkatan dari ngobrol akademik, ngomik tempat permasalahan dibahas dan dicari solusi terbaik bersama-sama. Acara ini diperuntukkan baik untuk siswa, mahasiswa, guru, dosen atau siapapun yang berkenan dapat bergabung dengan kegiatan tersebut. Mereka berdua bersama-sama merangkul kami, dengan begitu hangat dan terbuka. Tidak ada canggung dalam obrolan mereka. Dua orang yang berbicara dengan mata jujur, penuh pengalamanan dan menyentuh hati kami, para pelajar yang sedang ‘berjuang’.
.
Ibu Yessy berbicara tentang pengalamannya selama menjadi akademisi. Ia berkali-kali mengatakan bahwa hidup ini ga baik-baik aja. Karena solusi dari setiap permasalahan yaitu menyadari permasalahan dan menerimanya terlebih dahulu masalah tersebut. Hal tersebut menjadi awal menyelesaikan masalahan bahkan menyembuhkan diri. Tertampar sekali rasanya, saya kadang menyangkal ada masalah hanya karena merasa takut, takut punya masalah, takut bermasalah. Saya sering pura-pura mengatakan semuanya baik-baik saja, menghindari masalah, ga pernah mau tahu apa masalah diri. Ibu bercerita dengan konteks akademik, tetapi saya memaknainya lebih dari hanya dalam dunia akademik.
Bu Yessy menyimpulkan sebuah buku yang dibacanya terkait tahapan untuk menjadi academic well being :
1. Sadar akan masalah,
2. Melihat kemungkinan jebakan dalam dunia akademik,
3. Pahami kekuatan dan keterbatasan dari self healthy, dan
4. bikin safety plan (cari teman, keluarga, relationship, peliharaan, kolega, minta bantuan profesional).
.
Ibu Yessy juga menjelaskan kesulitan orang-orang yang memiliki “masalah” kesehatan mental. Ia mendeskripsikan ketakutan-ketakutan yang dimiliki orang-orang depresi untuk mau bercerita pada orang lain. Hal ini didasari masih ada justifikasi dalam masyarakat bahwa memiliki masalah mental berarti kurang iman, penyangkalan emosi dari orang lain dengan kata-kata “kamu harusnya ga gitu, dll”. Respon seperti itu bukan menyembuhkan, bukan memberikan rasa aman tetapi malah membuat para penderita menjadi lebih tertekan, lebih menyalah diri.
.
Pak Hamyat juga menceritakan pengalamannya selama berkuliah, ia mengalami berbagai permasalahan dalam proses akademisnya. Proses yang panjang, penuh lika-liku, harus merenung dalam perjalananya menulis tugas akhir. Namun, selalu ada orang-orang yang menghakimi dengan membandingkan diri kita (yang sedang berproses) dengan orang lain, menanyakan kapan lulus dengan niat tidak benar-benar membantu. Hal kecil tetapi kadang menambah penghakiman diri. Bukan pertanyaan yang menyudutkan yang dibutuhkan tetapi sebuah pertolongan, pertolongan, pertolongan yang bisa meringankan setidaknya dengan tidak menanyakannya. Saya memahami perasaan itu.
.
Semua orang punya medan pertempurannya masing-masing, sedang berjuang dengan kekuatan dan dirinya sendiri. Cerita siang tadi benar-benar relevan dengan kehidupan saya atau mungkin orang lain yang sedang ada di jalan ini (akademik). Malam ini saya baru selesai bimbingan tesis, dua pembimbing menyempatkan untuk membimbing. Banyak sekali yang saya pelajari malam ini, hari ini. Kalimat yang paling saya ingat dari pembimbing yaitu, “Belajar itu harus mengendap dulu, ga bisa buru-buru, bukan hanya sekadar tahu teori tetapi melihatnya dengan diri yang matang dan kebijaksanaan.” Hari ini, hari yang panjang, saya belajar banyak hal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar