Senin, 15 Maret 2021

Bertahan Hidup

Seorang pria bangun dari tidur kemudian menyadari bahwa ia berada di sebuah penjara dengan tingkat penjara yang tak diketahui. Setiap hari hanya ada satu kali makanan yang lewat ke penjara. Makanan yang sedikit tidak cukup untuk semua penghuni penjara. Semua orang berebut, kehilangan kemanusian bahkan saling membunuh untuk bertahan hidup. (The Platform, 2019)

Seorang pria terbangun di rumah sakit dengan keadaan masih lemah. Ia tersadar telah terjadi sesuatu, rumah sakit yang ia tinggali tak ada manusia satu pun. Hanya ada barang-barang yang berserakan. Setiap lorong terdapat mayat zombie. Kemudian ia pulang ke rumahnya. Keadaan di luar sungguh sangat mengerikan. Zombie berjalan mencari mangsa di sepanjang jalan. Ia tak menemukan anak dan istrinya di rmh. Ia hampir mati untung ada seseorang menolongnya. Ia sadar bahwa setiap saat ia akan mati tapi ia harus tetap bertahan hidup. ( The Walking Dead, 2010-)

Dua film tersebut termasuk film yang membuat bulu kuduk merinding. Bagaimana tidak, darah, membunuh, memakan mayat dan bunuh diri menjadi peristiwa yang selalu hadir. Setiap episode dari The Walking Dead membuat saya merinding tapi penasaran apa yang akan terjadi selanjutnya. Di dunia ini banyak hal yang menyeramkan, menakutkan dan mengancam. Hal yang saya pelajari dari tayangan itu adalah tentang kemampuan bertahan hidup. Semua orang akan mati, tapi bila keadaan mengancam, perasaan takut mati dan perilaku bunuh diri menjadi pilihan bagi sebagian orang. Namun, pilihan tersebut bukan bagi mereka yang punya energi bertahan hidup. Kedua tokoh sentral dalam film ini menyadari kematian bisa saja hadir kapan pun. Mereka berusaha melakukan sesuatu yang terbaik sebelum mati. Mereka selalu waspada, berjuang, menolong, dan bernegosiasi dengan diri, orang lain dan keadaan. Bila tak ada solusi dalam permasalah ia membuat solusinya sendiri meskipun kadang solusi tersebut tak membuat semua pihak senang atau menyiksa diri sendiri. Tapi keputusan harus tetap diambil dan jalan harus ditentukan. Orang yang bertahan hidup adalah mereka yang menentukan pilihan akan hidup meski harus dibayar dengan hidup, keringat, luka, darah bahkan kematian.

Masih nonton film The Walking Dead, hehe. Kali ini yang saya soroti bagaimana cara untuk bertahan hidup. Dalam film tersebut tersebut cara mereka bertahan hidup yaitu membuat sebuah kelompok. Kelompok tersebut tidak besar, hanya terdiri dari beberapa orang yang punya tujuan yang sama atau terkadang luka yang sama membuat kelompok lebih kuat.
1. Mematuhi satu komando
2. Tidak mementingkan diri sendiri tapi kelompok
3. Semua orang mampu mengambil keputusan dalam situasi mendesak dan bertanggung jawab atas pilihannya.
4. Bisa dipercaya dan punya kemampuan
5. Meninggalkan kelompok jika merasa sudah menjadi racun, beban dengan pertimbangan matang demi keselamatan kelompok.
6. Keyakinan yang sama bahwa mati saat berjuang dan melawan lebih baik.

Saya Putuskan Untuk Bahagia

Kenapa ya ?

Banyak orang yang melihat orang lain dan mengukur kebahagian dengan standar kebahagian normatif yang material. Padahal kebahagian tidak tunggal. Kebahagian bisa menjelma menjadi banyak hal. Bisa makan siang dengan telur ceplok ditambah kecap kesukaan subhanallah getaran bahagia itu timbul. Bisa bangun pagi menghirup udara segar, pikiran tenang itu kebahagian juga bagi saya. Bisa ketawa dengan teman-teman meski makan gorengan dicocol saos juga sangat bahagia. Kenapa kebahagian harus direduksi menjadi punya mobil, uang banyak, rumah mewah, punya foto liburan keren-keren, dll. Bukannya kebahagian dengan standar seperti itu sangat memberatkan dan melelahkan sekali. Lagi pula, semua orang punya jalannya masing-masing. Memukul rata standar kebahagian orang hanya akan membuat diri tak pernah puas. Ingin lebih dan lebih. Saya memilih membuat kebahagian saya sendiri, tak akan membiarkan omongan orang lain membatasi saya untuk bahagia. Saya bertanggung jawab atas diri saya sendiri, dan saya akan memilih tetap berbahagia dengan apa yang saya miliki, belum saya miliki dan tidak saya miliki.

Cara Berbahagia: Membangun Boundaries

 Kita memang dibentuk untuk menjadi manusia ga enakan. Mau nolak sesuatu takut menyinggung. Kita lebih sering menghargai orang lain dan melupakan ada diri yang harus dijaga. Maksud hati biar dipandang “baik” oleh orang lain tapi ternyata membiarkan diri kehilangan batas (boundaries), kehilangan diri. Boundaries (batas) semestinya dibentuk untuk membentuk sebuah identitas diri yang menjadi hal penting dari well-being dan kesehatan mental diri. Menurut Parkview Student Assistance Program (IPFW), boundary adalah batas atau ruang antara diri kita dengan orang lain. Hal ini bertujuan untuk melindungi dan menjaga diri kita baik-baik. Menurut Pulih (2020) Personal boundaries mungkin sulit dilakukan karena beberapa hal, diantaranya: 1) Kita selalu mengutamakan kebutuhan dan perasaan orang lain, 2) Kita tidak mengenal diri kita sendiri, 3) Kita merasa tidak memiliki hak, 4) Kita percaya kalau menetapkan batasan akan merusak hubungan, 5) Kita tidak pernah belajar untuk memiliki batasan yang sehat.

Hari ini saya diajari untuk membuat batasan (bounderies) untuk menjadi lebih tegas memutuskan sesuatu supaya mampu meraih bahagia dan mental yang sehat. Hal ini tidak mudah, saya harus menjadi “tega” atas setiap permintaan orang lain. Saya kembali belajar berkata kata “tidak” untuk sesuatu yang sebenernya hak saya untuk menolak. Memiliki bonderies (batas), bukan berarti menjadi tidak peduli tetapi sebaliknya saat kita memiliki batas diri pada orang lain. Kita juga diharuskan menghormati setiap keputusan orang lain mengenai batasan mereka juga. Hingga terciptanya suatu hubungan yang sehat. Menjadi seseorang yang baper tidaklah memberikan kesempatan bertumbuh. Hanya terperangkap pada lubang tak berujung. Menghadirkan logika untuk bisa lebih objektif atas permasalahan menjadi sangat penting.

Yessy Hermawati, Imas Siti Sarah dan 34 lainnya

Tentang Bertumbuh Menjadi...

Sejak beberapa bulan yang lalu adik senang membeli tumbuhan dan berbagai pupuk. Katanya, berkebun menjadi salah satu caranya untuk tetap "waras" selama pandemi ini. Ia lebih suka menanam berbagai jenis bunga dan sayuran. Ajaibnya ia punya tangan dingin, setiap benih atau bibit yang ia tanam selalu tumbuh dengan baik.


Seminggu yang lalu, bunga mawar merah mekar di kebunnya. Ia amat senang. Ia lebih percaya diri dan terus memotret bunga yang sedari dulu ia rawat. Ia bangga pada dirinya sendiri. Pengalaman akan perasaan menumbuhkan membuatnya terus ingin membeli tumbuhan baru di kebunnya. Sampai-sampai saat dia ulang tahun ia hanya minta uangnya saja, mau dibelikan bunga telang dan bunga-bunga lainnya katanya.

Tiga hari yang lalu, pohon Stoberi miliknya berbuah. Ia tersenyum sepanjang hari. Ia terus menyentuh buah merah yang bergelantung pendek menyentuh daunnya. Ia petik dan dan memakannya dengan mata yang berbinar.

Tadi pagi, ia mengecek kangkung hasil tanamnya. Ia termenung sejenak. Saya mendekatinya. Ia berbicara, "Kangkungya tidak tumbuh seragam. Masih ada yang pendek meskipun ditabur benih di hari yang sama." Saya terdiam. "Sama seperti manusia, kita semua tumbuh dengan jalan masing-masing. Ada yang matang diumur 30 tahun, ada juga yang matang di umur 25 tahun." "Jadi, mana yang lebih baik?" tanya saya. Ia tersenyum kecut, "keduanya baik dan keduanya normal. Itu yang disebut alami, membiarkan alam bekerja dengan caranya." Jawabnya. Seketika saya mengerti, picik dan dangkal sekali cara berpikir saya selama ini hanya terkotak antara baik dan buruk.

Hari ini saya akan belajar untuk mengikuti apa yang ia lakukan. Membeli bibit bunga, menjaganya dan membiarkan tumbuh. Saya juga berharap ada yang tumbuh dalam hati saya, sebuah keyakinan bahwa saya harus bertumbuh dan selalu bertumbuh menjadi versi diri terbaik saya sendiri.

Toxic Positivity : Menjadi Toxic Tanpa Disadari

Beberapa hari lalu saya berkumpul dengan beberapa teman. Seorang teman melakukan kesalahan, dua teman marah tentunya karena peduli padanya. Mereka berdua bersikap tegas pada setiap kesalahan yang dilakukan oleh setiap kelompok. Saya dimintai pendapat juga atas kesalahannya, tapi saya hanya menyampaikan beberapa frasa yang mengaburkan sikap atas kesalahanya. Saya tak memiliki sikap tegas seperti kedua teman. Kemudian saya berkata, “Pastinya tidak mudah mengubah sesuatu yang sudah berpuluh-puluh tahun dan kemudian harus diubah.” Kemudian, seorang teman mengatakan bahwa itu toxic positivity. Ya, istilah tersebut sering saya dengar, tapi saya luput memahaminya dengan baik istilah tersebut.


Menurut Indraswari (Yayasan Pulih Indonesia) “ketika term ‘positivity’ menjadi hal yang merugikan atau menjadi racun dalam kehidupan seseorang atau organisasi, maka itulah yang disebut sebagai toxic positivity.” Kemudian menurut Jiemi Ardian (psikiater) toxic positivity itu overgeneralisasi inefektif keadaan bahagian dan optimis dalam semua situasi kehidupan (tanpa peduli apa itu). Tujuannya menyangkal/meniadakan penderitaan dan emosi dari lawan bicara, dan dengan segera berharap dia menjadi positif. Indaswari juga menjelaskan, “Positivity yang sesuai adalah ketika kita benar-benar memahami persoalan yang terjadi dan sekaligus dapat memberikan alternatif yang mencerahkan.”

Contoh toxic positivity juga sering kita temukan dalam kehidupan sehari-hari. Kata-kata “ayo semangat, ayo tetap bersyukur dan semangat terus bisa menjadi berdampak negatif saat disampaikan ke seseorang. Saya ingat, waktu mama sakit semua orang berkata, “sabar ya.” Saya sampai dititik marah saat mendengar kata tersebut. Saya marah pada mereka yang berkata tersebut hanya untuk sekadar basa-basi semata ( beberapa orang mengucapkan dengan tulus dan rasanya terasa). Menurut Indaswari, “Kata-kata semangat positif akan berdampak baik dalam situasi normal atau seseorang dalam kondisi maksimal. Namun dapat menjadi toxic ketika seseorang merasa buntu dan tidak menemukan jalan keluar, yang dapat menyebabkan stress hingga depresi berkepanjangan sehingga diperlukan sensitivitas slogan atau kata-kata terhadap berbagai kemungkinan situasi individu. Menurutnya, diperlukan positivity yang konstruktif dan bukan destruktif. Positivity konstruktif maksudnya bukan hanya sekadar memberikan kata-kata positif, namun juga memberikan berbagai alternatif solusi bagi individu yang mengalami persoalan. Jiemi Adrian juga menambahkan bahwa kita perlu model penyampaian yang lebih kreatif dalam memberikan semangat dan harapan.

Saat berhadapan dengan lawan bicara ada dua hal yang harus dipahami yaitu validasi dan invalidasi. Validasi berarti kita menerima emosi (tidak menyangkal) perasaan lawan bicara dan berusaha memahami pikirannya. Invalidasi itu kita menyangkal emosi lawa bicara tanpa berusaha memahami pikirannya. Toxic Positivity merupakan invalidasi seakan berbicara “ga boleh sedih, takut, cemas dan sejenisnya). Oleh karena itu, meskipun niatnya positif tapi apabila invalidasi, ya bisa keliru (Jiemi Adrian). Hal ini terjadi karena ada ada pernyataan dalam masyarakat bahwa kita tak boleh sedih, ga boleh terlihat lemah, dll. Padahal perasaan itu wajar hadir dan memang harus diterima terlebih dahulu baru setelah itu ditemukan solusinya. Menurut Jiemi “Budaya yang diteruskan tidak selalu benar, kalau keliru boleh saja kita perbaiki. Termasuk dalam budaya mengekspresikan emosi, ketimbang bottle up dan meledak suatu hari maka lebih baik kita belajar menyampikan dengan cara-cara sehat.”

Kembali ke cerita di paragraf pertama, saya menyadari kesalahan saya. Kerap kali kata-kata itu terlontar begitu saja tanpa dipikirkan dampak setelahnya. Seharusnya saya tegas seperti kedua teman. Punya cara berpikir yang logis dan memutuskan sikap saya. Saya melakukan kesalahan. Saya senang memiliki kelompok teman yang tak segan mengkritik dan menegur bila kami melakukan kesalahan. Sekarang malah saya tak terlalu nyaman dalam sebuah kelompok yang hanya saling menjaga perasaan, memendam banyak hal terlebih membiarkan kesalahan yang dilakukan , berpura-pura tak melihat atau bahkan membenarkan sebuah kesalahan. Semua orang yang terlibat dalam relasi tersebut pastinya lelah karena tak menjadi dirinya sendiri.

Dari Murakami : Tentang Hidup

Manusia memiliki nilai di dalam diri mereka dan cara hidup masing-masing, begitu juga aku. Perbedaan itu menimbulkan ketidaksetujuan, dan kombinasi berbagai ketidaksetujuan itu bahkan dapat menimbulkan kesalahpahaman yan lebih luas. Hasilnya, terkadang kita harus menerima kritik yang tak beralasan. Tentu saja tidak menyenangkan jika disalahpahami atau dikritik orang lain. Hal ini merupakan pengalaman yang menyakitkan dan kadang membuat hati kita sangat terluka.


Akan tetapi, seiring dengan bertambahnya usia, sedikit demi sedikit aku memahami bahwa kepedihan ataupun sakit hati merupakan hal yang diperlukan dalam hidup. Fakta bahwa manusia dapat menciptakan diri mereka sendiri sebagai individu yang mandiri karena setiap orang berbeda satu sama lain, jika dipikirkan, hal itu sangat tepat… Perkara sakit hati adalah harga yang harus dibayar seseorang untuk dapat menjadi mandiri di dunia ini.

(Haruki Murakami)

PEDULI : Pedang Bermata Dua

Seorang teman menghubungi melalui sebuah sosial media kemudian bercerita tentang kegelisahannya beberapa Minggu ini. "Mereka melakukan dan mengatakan ini semua karena peduli katanya. Alih-alih saya merasa senang dipedulikan ko semakin membuat saya tak nyaman dengan apa yang mereka katakan. Saya semakin merasa dihakimi, pendapat dan suara saya tidak diberikan ruang. Mereka lupa bahwa ini hidup saya. Kenapa saya tidak boleh memilih apa yang saya inginkan dan perjuangkan dalam hidup ini. Mereka hanya menggunakan standar normatif yang lebih seperti mitos, kebenaran yang belum tentu. Saya sesak dengan keadaan seperti ini." Kata teman mengakhiri tulisannya. Malam sudah semakin larut, tapi kami terus berbagi kisah, saling bertukar cara pandang, dan saling menguatkan. Hidup memang tak pernah mudah, kita berjuang sekuat tenaga untuk merdeka, namun orang lain atau mungkin orang terdekat tanpa permisi mengambil kemerdekaan yang selama ini diperjuangkan. Kamipun terhanyut dan pada akhirnya mengakhiri percakapan malam itu.


Cerita teman masih tertinggal dalam pikiran menjelang malam semakin larut. Kata "Peduli" merupakan kata positif. Tetapi bisa saja menjadi toxic positivity saat orang yang mengaku peduli berkata tanpa memahami konteks seseorang tersebut. Manusia itu sangat rumit, mengatakan sesuatu tanpa melihat apa yang terjadi padanya, apa yang dirasakan padanya adalah sebuah kecerobohan. Saya teringat pernyataan Indaswari terkait batasan seuatu itu positif dan toxic positivity yaitu "Positivity yang sesuai adalah ketika kita benar-benar memahami persoalan yang terjadi dan sekaligus dapat memberikan alternatif yang mencerahkan.” Bukan hanya sekadar memberikan solusi/nasihat tanpa mengetahui siapa dan bagaimana perasaan serta konteks permasalahan. Berbicara tanpa berpikir apa dampaknya sungguh sangat menyebalkan. Hidup akan lebih 'ramah' jika semua orang berpikir dua sampai tiga langkah ke depan sebelum berbicara dan bertindak.