Selasa, 24 Agustus 2021

LOMBA MENULIS GURU HONORER

 

 MERDEKA DI MATA GURU HONORER

Aida Anwariyatul Fuadah

Beberapa hari lalu jagad dunia maya khususnya aplikasi TikTok ramai membahas sebuah konten yang dipublikasikan pada hari Rabu, 18/8/2021 oleh akun @hermyyusita. Ia memposting video dengan memperlihatkan sebuah slip gajinya tertanggal Bengkulu, 15 Agustus 2021. Pada postingannya ia juga menambahkan kata-kata dalam videonya, “Nasib guru honorer. Kerjaan serius, gajinya main-main,” dengan menambahkan lima emoticon menangis. Kemudian postingan tersebut juga ditambahkan caption “Nasib guru Honor #tugasmulia#mencerdaskananakBangsa#tolongpikirkanparapetinggiNegeri. Slip gaji tersebut memperlihatkan gaji kotornya Rp. 315.000,00 yang kemudian dikurangi bayar koperasi dan potongan sosial sebesar Rp. 102.000,00. Gaji bersih yang ia terima dalam satu bulan (Agustus 2021) yaitu Rp. 213.000,00. Jumlah tersebut sungguh sangat jauh bila dibandingkan dengan Upah Minimum Provinsi (UMP) Bengkulu sebesar Rp. 2.215.000/bulan. Sontak postingan tersebut menjadi sorotan berbagai pihak. Banyak netizen mengemukan kekecewaanya pada pemerintah atas nasib guru honorer yang begitu mengkhawatirkan secara finansial.

Potret guru honorer di atas hanya satu dari dari ratusan ribu lainnya yang sama menanti kesempatan untuk hidup lebih baik. Pasalnya untuk mendapatkan gelar sarjana pendidikan perlu berkorban waktu dan biaya yang tak sedikit. Setelah lulus dengan berbagai perjuangan melihat kenyataan bahwa gaji yang didapat tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hidup menjadi persoalan baru. Banyaknya lulusan sarjana pendidikan yang tak memilih pekerjaan sebagai guru karena gaji yang jauh dari kata layak dan harus memenuhi kewajiban untuk menafkahi keluarga. Guru honor yang mengambil berbagai pekerjaan sampingan untuk memenuhi kehidupan keluarga tidak asing lagi terdengar. Berbagai pekerjaan mereka geluti dan lakukan untuk tetap bertahan hidup. Dari mulai ojek online, jualan online, jadi kurir, mengajar bimbel dan lainnya tak segan dilakukan untuk memastikan dirinya dan keluarga tetap bisa makan dan memenuhi kehidupan sehari-hari. Belum lagi setelah bertahun-tahun mengabdi karena status guru honorer adalah Guru tidak tetap (GTT) setiap tahunnya harus bersiap bila ada guru PNS mutasi atau ditugaskan ke sekolahnya karena otomatis jam mengajar akan diberikan pada PNS yang digaji oleh pemerintah terlebih dahulu. Apabila ada sisa jam maka itu bagian guru honorer tetapi apabila tidak ada jam mengajar berarti guru honorer harus keluar dari sekolah tersebut.

Guru honorer memang seperti “anak tiri” dalam dunia pendidikan. Keberadaanya dibutuhkan tetapi hak dalam segi finansial sungguh sangat jauh berbeda dengan guru PNS. Guru PNS memiliki gaji tetap, sertifikasi, berbagai tunjangan dan uang makan yang pasti dibayarkan meskipun tidak jarang pembayaran dirapel di bulan berikutnya. Berbeda dengan guru honorer, dibayar perjam sesuai jadwal mengajar tidak ada uang apapun yang menyertai pendapatan setiap bulannya. Padahal kami sama-sama manusia memerlukan makan/uang makan tetapi itu juga tak kami dapatkan sepeserpun. Kami harus memaksakan diri untuk merasa cukup dengan apa yang kami dapatkan setiap bulannya. Ini bukan prihal ikhlas dan tak ikhlas menjalaninya tetapi tentang bagaimana menghargai dan memanusiakan manusia. Bukan pula soal pamrih dan tak pamrih tapi persoalan untuk mengapresiasi kerja seseorang dan kemampuan seseorang yang telah meluangkan waktu dan pemikirannya untuk bekerja dengan baik.  

Pemerintah sebenarnya tak lepas tangan akan nasib guru honorer, seperti yang disampaikan Menteri Pendidikan, Nadiem Makarim, dalam Rakornas Badan Kepegawaian Nasional (BKN) yang disiarkan melalui daring pada Kamis (01/07/21). Ia mengatakan bahwa kesejahteraan guru honorer menjadi salah satu PR yang harus segera ditemukan solusi untuk memperbaiki sistem pendidikan di Indonesia. Pak Menteri menyadari bahwa hal ini merupakan masalah yang sangat mendesak dan mulai melakukan rekruitmen guru PPPK. Namun, hal tersebut masih dipandang belum mampu merangkul semua guru honorer, pasalnya kuota yang sedikit dan PPPK guru kemenag yang dibatasi golongan K2 menyebabkan masih banyak guru honorer yang harus bertahan lebih lama untuk mendapatkan kesempatan mengikuti test PPPK.

Tidak hanya dari segi finansial, guru honorer juga terhambat berkembang karena belum diberikan ruang untuk mengembangkan dirinya. Untuk mendapatkan NUPTK saja perlu waktu yang tak sebentar, berbagai birokrasi harus dilewati hanya untuk mendapatkan hak sebagai guru (tidak semua sekolah). Selain itu, untuk mengikuti beasiswa S2 guru 2021 kemendikbud salah satu syarat khususnya yaitu melampirkan SK PNS. Beasiswa S2 guru Madrasah memberikan peluang pada guru non-pns tetapi jurusan telah ditetapkan sebagian besar guru agama dan dua  mata pelajaran umum seperti Matematika dan Bahasa Inggris saja. Kegiatan PPG juga belum masif dilakukan sehingga banyak guru honorer yang kesulitan untuk mendapatkan sertifikat pendidik, padahal sertifikat pendidik dibutuhkan untuk mengikuti berbagai kegiatan yang diselanggarakan oleh pusat dan sebagai syarat menerima sertifikasi yang nominalnya lebih manusiawi yang bisa didapatkan guru honorer. Pilihan lain mengikuti PPG mandiri dengan biaya yang jelas tidak sanggup dibayar dari gaji sebagai guru honorer.

Guru honorer merupakan salah satu aset dalam dunia pendidikan, memberikan kesempatan berkembang menjadi cara tepat yang harus dilakukan. Apabila diberikan hak yang layak dan diberikan berbagai kesempatan, mereka akan mampu menjadi pribadi baru, seorang pembelajar, semakin matang dan bertanggung jawab atas tugas-tugasnya. Dengan hak finansial yang layak juga guru honorer mampu mengikuti berbagai seminar nasional dan internasional, mempelajari berbagai keterampilan baru dan membeli berbagai buku untuk menambah wawasan dan mengembangkan cara belajarnya di kelas. Guru akan fokus dalam pengembangan diri, mengikuti perubahan zaman dan selalu terbarukan dalam gagasan dan performa mengajar. Hal ini bertujuan untuk mempersiapkan siswa-siswi mampu bersaing di masa depan sesuai tujuan pendidikan Indonesia.

Pada akhirnya pendidikan sebagai wadah perkembangan siswa-siswi menemukan diri dan memilih hidupnya masing-masing. Guru yang terus mengembangkan diri akan mampu membimbing mereka sampai di tempat yang seharusnya mereka berada. Hal yang harus dibenahi bersama yaitu sistem pendidikan dan kualitas guru. Karena tantangan zaman saat ini bukan siapa yang paling pintar secara kognitif saja tetapi siapa yang memiliki keterampilan berdasarkan minatnya dan dapat menghasilkan untuk bekal hidup mandiri. Mereka yang bekerja pada hal yang disenangi akan bekerja dengan totalitas dan memiliki tekad untuk terus berkembang. Inilah jawaban untuk bonus demografi Indonesia yang sedang dan akan berjalan beberapa tahun ke depan yaitu diisi oleh pemuda yang produktif yang berkontribusi pada pertumbuhan negara. 

Sebelum bulan kemerdekaan, Agustus, ini berakhir, rasanya masih relevan untuk membicarakan tentang arti kemerdekaan. Bagi guru honorer kemerdekaan yaitu diberikan hak yang layak dan mampu mengembangkan diri. Kami ingin keluar dari tekanan-tekanan yang melemahkan dan menyempitkan kami dan tidak membuat kami berkembang. Karena kami guru honorer yang sering diplesetkan menjadi guru “horor-er” betapa tidak kami terus dibayangi dengan berbagai ketakutan kehilangan jiwa sebagai pengajar karena tidak memiliki fokus mengajar dan mengembangkan diri. Waktu kami habis untuk mencari uang tambahan sebagai cara bertahan hidup. 

 

ACADEMIC WELL BEING 

Siang tadi, saya mengikuti sebuah obrolan menyenangkan yang dipandu oleh Ibu Yessy Hermawati dan Pak Hamyat. Mereka berdua merupakan dosen muda Uninus, pendiri #Ngomik, singkatan dari ngobrol akademik, ngomik tempat permasalahan dibahas dan dicari solusi terbaik bersama-sama. Acara ini diperuntukkan baik untuk siswa, mahasiswa, guru, dosen atau siapapun yang berkenan dapat bergabung dengan kegiatan tersebut. Mereka berdua bersama-sama merangkul kami, dengan begitu hangat dan terbuka. Tidak ada canggung dalam obrolan mereka. Dua orang yang berbicara dengan mata jujur, penuh pengalamanan dan menyentuh hati kami, para pelajar yang sedang ‘berjuang’.

.
Ibu Yessy berbicara tentang pengalamannya selama menjadi akademisi. Ia berkali-kali mengatakan bahwa hidup ini ga baik-baik aja. Karena solusi dari setiap permasalahan yaitu menyadari permasalahan dan menerimanya terlebih dahulu masalah tersebut. Hal tersebut menjadi awal menyelesaikan masalahan bahkan menyembuhkan diri. Tertampar sekali rasanya, saya kadang menyangkal ada masalah hanya karena merasa takut, takut punya masalah, takut bermasalah. Saya sering pura-pura mengatakan semuanya baik-baik saja, menghindari masalah, ga pernah mau tahu apa masalah diri. Ibu bercerita dengan konteks akademik, tetapi saya memaknainya lebih dari hanya dalam dunia akademik.
Bu Yessy menyimpulkan sebuah buku yang dibacanya terkait tahapan untuk menjadi academic well being :
1. Sadar akan masalah,
2. Melihat kemungkinan jebakan dalam dunia akademik,
3. Pahami kekuatan dan keterbatasan dari self healthy, dan
4. bikin safety plan (cari teman, keluarga, relationship, peliharaan, kolega, minta bantuan profesional).
.
Ibu Yessy juga menjelaskan kesulitan orang-orang yang memiliki “masalah” kesehatan mental. Ia mendeskripsikan ketakutan-ketakutan yang dimiliki orang-orang depresi untuk mau bercerita pada orang lain. Hal ini didasari masih ada justifikasi dalam masyarakat bahwa memiliki masalah mental berarti kurang iman, penyangkalan emosi dari orang lain dengan kata-kata “kamu harusnya ga gitu, dll”. Respon seperti itu bukan menyembuhkan, bukan memberikan rasa aman tetapi malah membuat para penderita menjadi lebih tertekan, lebih menyalah diri.
.
Pak Hamyat juga menceritakan pengalamannya selama berkuliah, ia mengalami berbagai permasalahan dalam proses akademisnya. Proses yang panjang, penuh lika-liku, harus merenung dalam perjalananya menulis tugas akhir. Namun, selalu ada orang-orang yang menghakimi dengan membandingkan diri kita (yang sedang berproses) dengan orang lain, menanyakan kapan lulus dengan niat tidak benar-benar membantu. Hal kecil tetapi kadang menambah penghakiman diri. Bukan pertanyaan yang menyudutkan yang dibutuhkan tetapi sebuah pertolongan, pertolongan, pertolongan yang bisa meringankan setidaknya dengan tidak menanyakannya. Saya memahami perasaan itu.
.
Semua orang punya medan pertempurannya masing-masing, sedang berjuang dengan kekuatan dan dirinya sendiri. Cerita siang tadi benar-benar relevan dengan kehidupan saya atau mungkin orang lain yang sedang ada di jalan ini (akademik). Malam ini saya baru selesai bimbingan tesis, dua pembimbing menyempatkan untuk membimbing. Banyak sekali yang saya pelajari malam ini, hari ini. Kalimat yang paling saya ingat dari pembimbing yaitu, “Belajar itu harus mengendap dulu, ga bisa buru-buru, bukan hanya sekadar tahu teori tetapi melihatnya dengan diri yang matang dan kebijaksanaan.” Hari ini, hari yang panjang, saya belajar banyak hal.

 TENTANG MENJADI MERDEKA

Sebelum bulan ini berakhir rasanya masih relevan jika membahas tentang kemerdekaan. Lantas bagaimana memaknai arti kemerdekaan itu? Seseorang sudah menggunakan twibon dengan kata-kata selamat merdeka. Setiap keluarga diwajibkan mengibarkan bendera merah putih di depan rumahnya. Sebagian orang mengikuti lomba memperingati kemerdekaan. Ada juga yang sengaja menggunakan baju merah putih. Sebagian lagi bersyukur dalam hati atas perjuangan para pahlawan. Banyak hal yang dilakukan untuk memperingati hari kemerdekaan. Semua hal itu sah-sah saja selagi seseorang itu merasa senang dengan caranya mengekspresikan kemerdekaan versinya masing-masing tanpa merugikan siapapunn.

Saya ingat sebuah diskusi rutin yang dilakukan #Ngomik yang digagas oleh dosen muda Uninus yaitu Bu Yessy dan Pak Hamyat, pada tanggal 14 Agustus lalu mereka membahas tentang arti kemerdekaan itu sendiri. Mereka menghadirkan sudut pandang pribadi atas makna kemerdekaan yang ditinjau dari berbagai sisi. Simpulan diskusi itu yaitu bahwa kemerdekaan bila dimaknai dengan kebebasan itu mitos, tidak pernah ada. Setiap kebebasan seseorang selalu berbenturan dengan kebebasan orang lain. Tidak ada yang benar-benar bebas dan selalu ada kata penginkaran (tapi, tetapi, namun) diakhirnya. Hasil diskusi itu juga menekankan pentingnya refleksi diri untuk mampu mendefinisikan sendiri kemerdekaan diri sendiri. Setelah seseorang memahami diri sendiri akan ada standar yang ia benar-benar inginkan dalam kehidupan ini selanjutnya ia harus berani ambil resiko atas apapun keputusan dalam hidup. Langkah pertama itu akan dirasakan begitu tak nyaman, karena kita keluar dari standar normatif masyarakat dan dianggap liyan. Ini adalah langkah awal dalam memaknai kemerdekaan, definisi kemerdekaan yang tak didikte oleh siapapun tetapi diputuskan oleh diri sendiri.

Setelah mengikuti #ngomik tersebut, saya mencoba menuliskan kemerdekaan versi saya sendiri, beberapa menit pulpen saya diam, tak ada kata yang saya tulis satupun. Saya bingung dengan mendefinisikan kemerdekaan sendiri, untuk tahap awal saja saya tak memiliki kesadaran itu. Selama saya hidup, saya pikir saya sudah merdeka tetapi ternyata saya terjajah oleh konsep kemerdekaan versi umum yang tak pernah saya pahami esensi makna kata itu secara pribadi. Beberapa menit saya berpikir, hal apa yang membuat saya bahagia, merasa merdeka dan masuk akal dapat diwujudkan dan dijadikan standar kemerdekaan saya pribadi.

Saya menulis empat poin utama definisi kemerdekaan versi saya, pertama bebas mengemukakan argumen pribadi dan menerima dengan terbuka setiap kritikan dan masukan orang lain. Kedua, mampu bekerja sama dalam tim dan berkolaborasi. Ketiga, bebas dari perasaan people pleasure, saya harus punya boudaries kuat atas hidup dan menempatkan diri sebagai fokus dalam perkembangan diri. Terakhir, saya harus memiliki kemampuan bernegosiasi yang baik, karena kebebasan utuh tidak benar-benar ada. Keempat hal ini setidaknya yang saya harapkan di tahun ini. Tahun depan standar kemerdekaan ini bisa berubah atau bertambah, karena dunia berubah, diri berubah semua berubah dan cara untuk bertahan hidup adalah mengikuti perubahan itu.a



0 Komentar